Membebaskan “Belenggu” Sekolah

Agus Sofyan

Dimuat di Solopos, 24 Juli 2012

Menarik untuk menanggapi artikel yang ditulis oleh Saeful Achyar Mencari Sekolah, Mencari Tuah (17/7) di rubrik ini yang memerkarakan kapitalisme serta hilangnya asketisme sekolah. Tulisan ini berupaya mengurai lebih lanjut atas apa yang dilontarkan Saeful Achyar.

Menilik dari sisi ontologi, hakikat atau filosofi pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan seorang manusia secara harmoni sebagai upaya pembangunan kemanusiaan yang hakiki.

Paulo Freire dalam buku Pedagogy of the Oppressed (1983), mengemukakan bahwa pendidikan merupakan proses menyempurnakan dirinya (humanisasi). Yakni proses manusia menuju kepada kesadaran akan tindakannya dan dunia di mana manusia akan menjadi titik tolak dari proses kesejarahan yang akan terjadi pada dirinya dan dunia.

Oleh karena itu, basis utama pendidikan yakni sekolah harus mampu memainkan peranannya secara maksimal dalam mengoptimalkan peserta didik dalam arti sebagai pelaku (subjek) bukan malah menjadikannya sebagai objek pendidikan an sich. Kita melihat selama ini, ruang-ruang sekolah banyak didominasi oleh “belenggu” tradisi bahwa sekolah itu adalah sekadar tempat menuntut ilmu. Namun, belum mampu dimaknai bahwa sekolah juga merupakan tempat pengayaan serta memproduksi pengalaman dan pengetahuan baru.

Interaksi yang baik antara berbagai elemen dalam pendidikan tentu sangat diharapkan peserta didik dapat menjadi dirinya sendiri sehingga dapat mengoptimalkan nalarnya ketika menimba cakrawala di sekolah, bukan hanya menyerap apa yang disampaikan para pendidik.

 

Sekolah itu Penjara                                     

Hal yang memang harus diwaspadai adalah bersenyawanya antara dunia pendidikan dan kapitalisme. Apabila hal ini terjadi, tentu pendidikan akan berubah menjadi semacam komoditas yang diperdagangkan di mana sekolah menjadi wahananya. Bernard Shaw dalam A Treatise on Parents and Children (1994) mengomentari dampak komersial dari pendidikan dengan mengungkapkan bahwa tidak ada yang melakukan pemaksaan sedemikian rupa terhadap orang-orang tak berdosa selain sekolah. Sekolah adalah penjara. Bahkan masih menurut Shaw, dalam beberapa hal, sekolah bahkan lebih kejam ketimbang penjara. Misalnya di penjara, Anda tidak akan dipaksa untuk membeli buku-buku karangan para sipir dan dimintai berbagai pungutan. Sementara di sekolah, kerap muncul berbagai pungutan memaksa yang kerap membelit dan memberatkan peserta didik. Bahkan di sekolah, peserta didik diwajibkan membeli buku karangan sang pendidik.

Selain itu, sekolah selama ini dapat dikatakan sebagai sebuah “penjara” karena kerap memenjarakan berbagai bakat terpendam dari peserta didik dengan tetap menggunakan metode konvensional dalam pengajarannya. Hal ini seakan menampilkan kepada kita sebuah realitas bahwa kita saat ini, meminjam uraian dari Bertrand Russel (1872-1970), dihadapkan pada sebuah fakta paradoksal bahwa pendidikan yang dijalankan di sekolah menjadi salah satu kendala utama bagi usaha mencapai kecerdasan serta kebebasan berpikir.

Melihat kenyataan ini, sesungguhnya kita dapat mengambil pelajaran dari buku karya Tetsuko Kuroyanagi, Totto-Chan: The Little Girl at the Window (1996). Karya ini mengisahkan sebuah sekolah bernama Tomoe Gakuen. Sekolah itu menggunakan pendekatan humanisasi yang begitu mendalam kepada peserta didiknya sehingga bersekolah merupakan suatu proses yang menyenangkan. Sang kepala sekolah, Sosaku Kobayasi, adalah sosok yang begitu dekat, hangat, cerdas dan berwibawa, menggunakan metode yang keluar dari tradisi umum dengan sebuah harapan tercerahkannya para peserta didik melalui sekolahnya tersebut.

Selain itu, ia menuturkan: “Punya mata tapi tak melihat keindahan. Punya telinga tapi tak mendengar musik. Punya pikiran tapi tak memahami kebenaran, punya hati tapi tak pernah tergerak, itu hal yang harus ditakuti.” Hal semacam inilah yang seharusnya ditakutkan ada dalam sekolah-sekolah kita.

Pendekatan Humanis                                                   

Selain itu, pendekatan humanis kini dirasa sangat perlu untuk senantiasa diwujudkan dalam dunia pendidikan terutama di sekolah-sekolah kita. Tidak hanya dalam proses belajar, dalam proses interaksi sosial antarpeserta didik juga sangat diperlukan. Tentu kita bersama sangat mendambakan kehidupan sekolah yang saling asah, asuh dan asih antara junior dan senior serta pendidik dengan peserta didik.

Berbagai kasus penganiayaan antara pendidik terhadap peserta didik, antara senior dengan junior dan sebagainya tentu sangat tidak kita harapkan akan terulang kembali. Oleh karena itu, pendekatan humanis mutlak diperlukan. Menurut Kees De Jong (2001), pendekatan humanis dapat diterjemahkan sebagai compassion, yang berarti simpati terhadap sesama manusia, berbagi perasaan, terharu, dalam suka dan damai. Lebih lanjut dalam pandangan pendidikan dengan pendekatan humanis mengajarkan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan. Maka martabat setiap manusia harus dibela, harus dihargai dan hak asasi manusia harus dihormati.

Belenggu sekolah berupa “kekerasan” sudah seharusnya dihapuskan karena kekerasan dalam pendidikan hanya akan memunculkan kondisi tertindas yang melahirkan budaya bisu (submerged in the culture silence). Budaya bisu adalah suatu situasi di mana orang tidak kuasa mengungkapkan ekspresinya akibat ditekan oleh sekelompok orang yang berkuasa. Manusia dipandang bukan lagi sebagai manusia sebagaimana lazimnya. Gejala ini biasa disebut dehumanisasi (Mu’arif, 2005). Jika belenggu sekolah tidak kita putus maka jangan berharap bahwa pendidikan di sekolah sebagai suatu proses memanusiakan manusia (humanisasi) akan terwujud.