Membaca “Manusia-Manusia Paling Misterius di Dunia”

Oleh Agus Sofyan

Judul Buku: Manusia-Manusia Paling Misterius di Dunia

Penulis: Eka Nada Shofa Alkhajar

Penerbit: bukuKatta

Tahun: 2013

156 halaman : 14,5 x 20,5 cm

ISBN: 978-979-1032-68-1

Membaca buku ini adalah membaca jejak-jejak enigma hingga komodifikasi berbagai legenda dan mitos yang memang telah sohor diketahui publik maupun yang masih belum santer terdengar (Jack the Ripper, King Arthur, Man in the Iron Mask, Nostradamus, Robin Hood dan Uri Geller). Buku ini memang dikemas dengan bahasa ilmiah populer dengan judul yang demikian populer pula “Manusia-manusia Paling Misterius di Dunia”. Tidak dapat dimungkiri, sekilas buku ini memang terkesan hanya buku “biasa” yang mengurai mengenai kisah manusia-manusia yang dianggap misterius di dunia semata.

Namun, apabila coba diselami lebih dalam, akan terlihat bahwa sejatinya buku ini adalah buku serius dengan kajian ilmiah yang menurut saya begitu memikat karena tidak hanya memaparkan sejarah ataupun informasi yang telah jamak diketahui publik namun mampu mengurai berbagai sumber-sumber ataupun data-data baru yang demikian lengkap. Sebagaimana dijanjikan penulis pada “Sekapur Sirih”:

Kelebihan dari bahasan dalam buku ini adalah adanya penelusuran kembali melalui studi literatur (literature study) maupun studi dokumen (document study) untuk menghasilkan kebaruan informasi, penggunaan data update kontemporer maupun berbagai referensi yang ada serta disertai dengan analisis mengenai perihal tersebut sehingga menghasilkan lacakan yang sarat akan kekayaan data.

Hingga tahap saya membaca tuntas buku ini, klaim penulis tersebut pun saya amini karena memang mampu menyuguhkan bahasan berbeda dengan informasi baru yang berbeda pula dengan buku-buku lain maupun informasi yang ada secara online. Namun, memang tak ada gading yang tak retak. Saya masih menemukan beberapa kesalahan kecil dalam hal redaksional walaupun memang tidak mengganggu alur bahasan yang begitu mengalir.

Tidak berhenti di situ, buku ini mengolah dan mengelaborasi relasi modal hingga praktik komodifikasi. Seperti diungkapkan penulisnya: “Selain itu, penulis juga tertarik untuk melihat fenomena pelbagai kisah misterius tersebut dari beragam sudut pandang semisal sejarah sampai komodifikasi di mana tidak dapat dimungkiri kisah-kisah tadi hingga saat ini senantiasa diawetkan, diproduksi ulang, dikemas, hingga dapat menjadi sebentuk komoditas yang laris dan laku untuk dijual”.

Berikut ini saya kutipkan sebagian potongan teks bahasan dari kisah King Arthur dalam buku ini.

Kisah tentang Raja Arthur yang penuh dengan mitos pun tak luput dari lirikan industri budaya. Berbagai kisah yang sesungguhnya belum jelas ini tetap menjadi komoditas yang potensial untuk digarap, yang tentunya akan menghasilkan keuntungan. … logika industri budaya tidak memandang penting arti konsistensi ataupun kebenaran suatu kisah klasik atau mitologi. Yang penting hanyalah membuat komoditas yang dapat diterima oleh pasar (hal. 78-79).

Lebih lanjut penulis kembali menegaskan bahwa: “Gelimang potensi kapital dari legenda Raja Arthur ini dapat dikatakan senantiasa siap untuk diproduksi dan reproduksi ulang dalam balutan industri budaya. Reinkarnasinya nampaknya tidak akan berhenti sampai di sini. … Sepertinya logika industri budaya untuk senantiasa mengemas kisah Raja Arthur menjadi komoditas tidak pernah ada habisnya” (hal. 80).

Kalau saya boleh mengklaim buku ini sejatinya merupakan kajian budaya populer sebagai salah satu aspek kajian ilmiah. Hal ini memang bukan sesuatu yang mengherankan karena penulisnya merupakan seorang peneliti. Selamat membaca dan temukan berbagai sajian yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan!.

Membebaskan “Belenggu” Sekolah

Agus Sofyan

Dimuat di Solopos, 24 Juli 2012

Menarik untuk menanggapi artikel yang ditulis oleh Saeful Achyar Mencari Sekolah, Mencari Tuah (17/7) di rubrik ini yang memerkarakan kapitalisme serta hilangnya asketisme sekolah. Tulisan ini berupaya mengurai lebih lanjut atas apa yang dilontarkan Saeful Achyar.

Menilik dari sisi ontologi, hakikat atau filosofi pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan seorang manusia secara harmoni sebagai upaya pembangunan kemanusiaan yang hakiki.

Paulo Freire dalam buku Pedagogy of the Oppressed (1983), mengemukakan bahwa pendidikan merupakan proses menyempurnakan dirinya (humanisasi). Yakni proses manusia menuju kepada kesadaran akan tindakannya dan dunia di mana manusia akan menjadi titik tolak dari proses kesejarahan yang akan terjadi pada dirinya dan dunia.

Oleh karena itu, basis utama pendidikan yakni sekolah harus mampu memainkan peranannya secara maksimal dalam mengoptimalkan peserta didik dalam arti sebagai pelaku (subjek) bukan malah menjadikannya sebagai objek pendidikan an sich. Kita melihat selama ini, ruang-ruang sekolah banyak didominasi oleh “belenggu” tradisi bahwa sekolah itu adalah sekadar tempat menuntut ilmu. Namun, belum mampu dimaknai bahwa sekolah juga merupakan tempat pengayaan serta memproduksi pengalaman dan pengetahuan baru.

Interaksi yang baik antara berbagai elemen dalam pendidikan tentu sangat diharapkan peserta didik dapat menjadi dirinya sendiri sehingga dapat mengoptimalkan nalarnya ketika menimba cakrawala di sekolah, bukan hanya menyerap apa yang disampaikan para pendidik.

 

Sekolah itu Penjara                                     

Hal yang memang harus diwaspadai adalah bersenyawanya antara dunia pendidikan dan kapitalisme. Apabila hal ini terjadi, tentu pendidikan akan berubah menjadi semacam komoditas yang diperdagangkan di mana sekolah menjadi wahananya. Bernard Shaw dalam A Treatise on Parents and Children (1994) mengomentari dampak komersial dari pendidikan dengan mengungkapkan bahwa tidak ada yang melakukan pemaksaan sedemikian rupa terhadap orang-orang tak berdosa selain sekolah. Sekolah adalah penjara. Bahkan masih menurut Shaw, dalam beberapa hal, sekolah bahkan lebih kejam ketimbang penjara. Misalnya di penjara, Anda tidak akan dipaksa untuk membeli buku-buku karangan para sipir dan dimintai berbagai pungutan. Sementara di sekolah, kerap muncul berbagai pungutan memaksa yang kerap membelit dan memberatkan peserta didik. Bahkan di sekolah, peserta didik diwajibkan membeli buku karangan sang pendidik.

Selain itu, sekolah selama ini dapat dikatakan sebagai sebuah “penjara” karena kerap memenjarakan berbagai bakat terpendam dari peserta didik dengan tetap menggunakan metode konvensional dalam pengajarannya. Hal ini seakan menampilkan kepada kita sebuah realitas bahwa kita saat ini, meminjam uraian dari Bertrand Russel (1872-1970), dihadapkan pada sebuah fakta paradoksal bahwa pendidikan yang dijalankan di sekolah menjadi salah satu kendala utama bagi usaha mencapai kecerdasan serta kebebasan berpikir.

Melihat kenyataan ini, sesungguhnya kita dapat mengambil pelajaran dari buku karya Tetsuko Kuroyanagi, Totto-Chan: The Little Girl at the Window (1996). Karya ini mengisahkan sebuah sekolah bernama Tomoe Gakuen. Sekolah itu menggunakan pendekatan humanisasi yang begitu mendalam kepada peserta didiknya sehingga bersekolah merupakan suatu proses yang menyenangkan. Sang kepala sekolah, Sosaku Kobayasi, adalah sosok yang begitu dekat, hangat, cerdas dan berwibawa, menggunakan metode yang keluar dari tradisi umum dengan sebuah harapan tercerahkannya para peserta didik melalui sekolahnya tersebut.

Selain itu, ia menuturkan: “Punya mata tapi tak melihat keindahan. Punya telinga tapi tak mendengar musik. Punya pikiran tapi tak memahami kebenaran, punya hati tapi tak pernah tergerak, itu hal yang harus ditakuti.” Hal semacam inilah yang seharusnya ditakutkan ada dalam sekolah-sekolah kita.

Pendekatan Humanis                                                   

Selain itu, pendekatan humanis kini dirasa sangat perlu untuk senantiasa diwujudkan dalam dunia pendidikan terutama di sekolah-sekolah kita. Tidak hanya dalam proses belajar, dalam proses interaksi sosial antarpeserta didik juga sangat diperlukan. Tentu kita bersama sangat mendambakan kehidupan sekolah yang saling asah, asuh dan asih antara junior dan senior serta pendidik dengan peserta didik.

Berbagai kasus penganiayaan antara pendidik terhadap peserta didik, antara senior dengan junior dan sebagainya tentu sangat tidak kita harapkan akan terulang kembali. Oleh karena itu, pendekatan humanis mutlak diperlukan. Menurut Kees De Jong (2001), pendekatan humanis dapat diterjemahkan sebagai compassion, yang berarti simpati terhadap sesama manusia, berbagi perasaan, terharu, dalam suka dan damai. Lebih lanjut dalam pandangan pendidikan dengan pendekatan humanis mengajarkan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan. Maka martabat setiap manusia harus dibela, harus dihargai dan hak asasi manusia harus dihormati.

Belenggu sekolah berupa “kekerasan” sudah seharusnya dihapuskan karena kekerasan dalam pendidikan hanya akan memunculkan kondisi tertindas yang melahirkan budaya bisu (submerged in the culture silence). Budaya bisu adalah suatu situasi di mana orang tidak kuasa mengungkapkan ekspresinya akibat ditekan oleh sekelompok orang yang berkuasa. Manusia dipandang bukan lagi sebagai manusia sebagaimana lazimnya. Gejala ini biasa disebut dehumanisasi (Mu’arif, 2005). Jika belenggu sekolah tidak kita putus maka jangan berharap bahwa pendidikan di sekolah sebagai suatu proses memanusiakan manusia (humanisasi) akan terwujud.